Faktor penyakit pada sapi sangat kuat terhadap produktifitas industri peternakan sapi baik pada peternakan skala kecil, menengah maupun besar. Salah satu penyakit yang sangat merugikan peternak yaitu pneumonia atau radang paru-paru. Pneumonia atau pneumonitis yaitu suatu peradangan pada paru-paru terutama pada serpihan parenkhim paru. Kondisi ini menjadikan adanya gangguan fungsi sistem pernafasan.
Kerugian jawaban penyakit pneumonia pada sapi antara lain, penurunan berat tubuh sapi, sanggup menular ke sapi-sapi lain, biaya pengobatan, harga jual sapi menjadi sangat rendah dan lain-lain.
Penyakit ini sanggup digolongkan sebagai penyakit berbahaya pada sapi lantaran radang paru-paru (pneumonia) merupakan radang parenkim yang sanggup menjadi akut maupun kronik ditandai dengan:
Sapi Sering batuk-batuk
Sapi bersuara abnormal
dyspnoe
suhu tubuh.sapi naik/tinggi
Nafsu makan sapi berkurang
Sapi lemah, lesu
Semakin usang sapi semakin kurus
Pneumonia atau Radang ini disebabkan oleh aneka macam biro etiologi, radang yang disebabkan basil terkadang mengakibatkan terjadinya toksemia. Secara patologi banyak ditemukan bersamaan dengan radang bronchus hingga terjadi bronchopneumonia yang sering terjadi pada hewan.
Faktor-faktor pengelolaan peternakan dan lingkungan binatang sangat kuat terhadap terjadinya radang paru-paru pada suatu peternakan.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
penempatan binatang yang selamanya hanya dikandang saja,
tempat yang lembab atau berdebu,
ventilasi udara yang jelek,
penempatan binatang dari aneka macam umur dalam satu tempat,
jumlah binatang yang berlebihan dalam satu kandang,
hewan yang berdesak-desakan (over crowding),
pemasukan hewan-hewan yang tidak beraturan (besar kecil dicampur)
Selain itu, adanya radang menyerupai radang pada bronkhus (bronkhitis) juga sanggup bertindak sebagai penyebab pneumonia. Terlebih sebagian besar bencana pneumonia pada binatang asalnya bersifat bronchogenik (adanya benda-benda asing yang masuk kedalam atau melalui bronkhus), tetapi beberapa sanggup berasal dari rute hematogenik (via darah).
Adapun spesifitas biro penyebab pneumonia yaitu :
Virus : Infectious Bovine Rhinotracheitis, Malignant Catharhal Fever, Bovine Fever, Bovine Herpes V-4, Adenovirus, Parainfluenza-3, Bovine respiratory Virus, Bovine Virus Diarrhea-Mucosal Disease, Rhino-virus, Rota-virus.
Bakteri : Pasteurella multocida,Pasturella hemolitica, Streptococcus sp, Mycobacterium tuberculosa, Corynobacterium pyogenes, Hemophilus somnus
Jamur: Chlamydia psittaci
Mycoplasma : Mycoplasma mycoides, Mycoplasma dispar, Mycoplasma bovis
Parasit : Dictocaulus viviparus
Terapi dan Pengobatan
Pengawasan pada binatang yang masih sehat sangatlah penting, penderita ditempatkan dikandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. Pemberian Ca boroglukonat dan vitamin C serta penangan kehilangan cairan tubuh sangat mempunyai kegunaan untuk terapi pneumonia.
Terapi sangat efektif dilakukan jikalau telah mengetahui biro penyebab pneumonia. Pengobatan dengan antibiotik berspektrum luas.
Catatan tambahan, klarifikasi ilmiah
Pada lingkungan yang buruk sering terjadi benjol basil Pasteurela sp dan Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada binatang biasanya bersifat akut. Pada kultur paru-paru binatang yang sudah mati disebabkan pneumonia sering dijumpai adanya basil Corynobacterium pyogenes, Hemolytic staphylococci dan Pseudomonas aeruginosa.
Etiologi bencana pneumonia sangat beragam. Menurut Welsh et.al (2004), penyakit pneumonia pada sapi sanggup diakibatkan oleh virus, basil atau kombinasi keduanya, benalu metazoa (metazoan parasites) dan agen-agen fisik/kimia lainnya.
Agen-agen benjol memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau limfogen. Berat ringan proses radang tergantung pada jenis, virulensi, dan jumlah biro benjol yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan limfogen mengakibatkan terbentuknya foci-foci radang yang letaknya tersebar pada aneka macam lobus paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh basil Pasteurela sp dan Mycoplasma sp sedangkan yang disebabkan jamur atau basil Mycobacterium sp kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Sedangkan biro benjol yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang memerlukan faktor lain dalam patogenesisnya yaitu dengan kolaborasi dengan basil patogen lain maupun pengelolaan peternakan dan lingkungan yang jelek.
Radang paru-paru akan mengakibatkan terjadinya hipoksia lantaran terjadi ganguan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut binatang akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang pernapasan berlangsung cepat dan dangkal.
Adanya hiperemi, paru-paru akan mengalami pemadatan, konsolidasi yang dalam keadaan lanjut terjadi pemadatan yang berkonsistensi menyerupai hati ( hepatisasi). Pada uji apung jaringan yang berkonolidasi akan melayang ataupun tenggelam. Adanya eksudat pada kanal pernafasan akan mengakibatkan batuk bagi jaringan yang peka, lantaran eksudat ini bila dilakukan auskultasi akan terdengar bunyi ronchi berair dan hilangnya bunyi vesikuler. Selain itu pernafasan yang normalnya tipe kostoabdominal akan bermetamorfosis tipe abdominal.
Menurut Welsh et.al (2004), hampir semua bencana pneumonia berawal dari prosedur pertahanan paru-paru. Dibawah kondisi yang normal, pedoman udara utama dan parenkhim paru-paru mencegah masuknya biro yang berbahaya, menetralisir serta menyingkirkannya, sehingga paru-paru mengandung sedikit, jikalau ada, organisme yang hingga ke serpihan ujung paru-paru. Beberapa benjol alat respirasi berasal dari partikel debu yang membawa biro benjol dimana keluar/masuk paru-paru.
Untuk terjadinya suatu benjol melalui rute aerosol, biro penyebab benjol harus bersifat gampang dibawa oleh udara (aerosolized), tahan di udara, sanggup ditempelkan pada dinding alat respirasi dari induk semang yang peka, dan kemudian memperbanyak diri. Kaprikornus patogenesa dari benjol penyakit respirasi terkait dengan deposisi partikel dan biro benjol dalam alat respirasi.
Di bawah kondisi normal suatu prosedur pertahanan biokimiawi, fisiologis dan immunologis secara kompleks melindungi alat pernafasan dari partikel masuk, yang mungkin bersifat melukai atau infeksius. Mekanisme pertahanan utama alat respirasi mencakup filtrasi aerodynamika oleh rongga hidung, bersin, refleks laryngealis, refleks batuk, prosedur transport mucociliary makrofag alveolar dan sistem antibodi sistemik maupun lokal.
Selain itu, citra anatomis dan fisiologis dari sistem respirasi sapi memungkinkan adanya predisposisi terhadap berkembangnya penyakit paru-paru dibandingkan binatang lainnya. Sapi secara fisiologis mempunyai kapasitas pertukaran gas yang kecil dan aktifitas tekanan ventilasi basal lebih besar. Kapasitas pertukaran gas yang kecil mengakibatkan sapi mendapat tingkat oksigen alveolar dan bronchial rendah selama berada pada dataran tinggi dan selama periode aktifitas fisik/metabolik. Pada ketika itu, tekanan oksigen rendah atau hypoxia mungkin memperlambat aktifitas mucociliary dan makrofag alveolar dan menurunkan kecepatan proses pencucian paru-paru (Subronto 2003).
Paru-paru sapi juga mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar dari pada binatang lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hypoxia perifer pada jalannya udara sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini menjadikan penurunan aktifitas fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu, lantaran makrofag alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka prosedur pencucian paru-paru tidak seefektif binatang lain. Demikian pula tingkat atypical bioactivity dari lysozyme mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi lebih gampang menderita benjol kanal pernafasan dibandingkan spesies binatang lainnya.
Gejala klinis
Pada awalnya radang paru-paru ( pneumonia ) didahului tanda-tanda hiperemi pulmonum, diikuti dyspnoe, frekuensi nafas 40-80 kali permenit, tipe nafas bersifat abdominal, napasnya mula-mula dangkal kemudian dalam, batuk, sesudah berlangsung beberapa hari muncul leleran pada hidung, pulsus 60-90 kali per menit, demam ( suhu 42ÂșC ) kenaikan suhu tubuh ini sejalan dengan reaksi tubuh dalm memobilisasi sel-sel darah putih dan berlangsungnya menyerupai antigen-antibodi.
Pada inspeksi terkadang tercium anyir abnprmal dari pernapasan penderita. Bau busuk ( halitosis, foxtor ex ero ) sanggup berasal dari runtuhan sel atau dari produk basil penyebab pneumonia. Bau busuk selalu ditemukan pada radang paru-paru yang disertai ganggren.
Pada auskultasi kawasan paru-paru akan terdengar aneka macam bunyi abnormal. Terdengar bunyi bronchial ( rhonci berair ) yang seharusnya bunyi vesicular disebabkan alveoli terisi cairan radang. Pada investigasi perkusi pada kawasan paru-paru tidak ditemukan adanya perubahan pada batas-batas kawasan perkusi. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi mulai dari agak pekak pada kawasan yang mengalami hiperemi hingga pekak total pada kawasan yang mengalami hepatisasi.
Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu bahkan sering sekali produksi susu terhenti sama sekali. Penderita tampak lesu, malas berbaring, gelisah, kehilangan nafsu makan dan minum, depresi, terkadang pernapasan dengan mulut, konstipasi dan oligouria.
Menurut Cordes et.al (1994) tanda-tanda klinis terjadinya pneumonia pada sapi yaitu respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan), tidak selalu ditandai dengan kenaikan suhu/demam lantaran kenaikan suhu tubuh berlangsung sejalan dengan reaksi tubuh dalam memobilisasi sel darah putih dan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi. Pada pneumonia yang telah berjalan cukup usang (kronis) tidak disertai dengan kenaikan suhu tubuh (Subronto 2003).
Pada investigasi auskultasi, kawasan paru-paru akan terdengar bunyi abnormal. Karena alveol berisi cairan radang, pada ketika wangsit bunyi bronchial lebih kecil atau sama dengan bunyi vesikular. Pada investigasi secara perkusi, tidak ditemukan batas-batas yang terang pada gema perkusinya. Suara resonansi yang dihasilkan bervariasi (Gabor 2003).
Selain itu, pada perkembangan lebih lanjut, pada sapi yang sedang produksi akan mengalami penurunan produksi atau produksi air susu akan terhenti sama sekali, binatang lesu, malas, berbaring dan kehilangan nafsu makan dan minum (Gabor 2003)
Diagnosa
Didasarkan pada:
a.Gejala Klinis
Diagnosa pneumonia didasarkan atas tanda-tanda klinik yang terlihat dan dilengkapi dengan investigasi secara auskultasi, perkusi dan sanggup dilanjutkan dengan investigasi lanjutan berupa investigasi foto rontgent. Untuk mengetahui etiologi atau biro penyebab pneumonia perlu dilakukan investigasi mikrobiologis berupa investigasi sputum atau leleran hidung atau swab trakheal (Cordes et.al 1994).
b. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan ini untuk melihat citra sel darah putih dan jikalau memungkinkan sanggup pula dilakukan investigasi serologis, terutama untuk mengetahui keberadaan biro virus. Bahkan investigasi feses natif untuk mengetahui telur cacing juga sanggup dilakukan. Karena larva nematoda Dictyocaulus viviparus dalam perjalanannya di paru-paru sanggup mengakibatkan peradangan (Lungworm pneumonia).
c. Pemeriksaan makroskopis
Pemeriksaan makroskopis pada paru-paru tampak perubahan warna mulai yang dari kemerahan hingga menjadi abu-abu dan kuning bahkan terjadi hepatisasi merah, konsistensinya bermetamorfosis menyerupai hati yang lentur bahkan mengalami kerapuhan. Pada pengirisan paru-paru ditemukan adanya eksudat mulai dari serous hingga mukopurulen, jaringan parenkim tampakmengalami kongesti dan hepatisasi. Pada uji apung akan melayang atau tenggelam, dan ditemukan inklusi bodi pada pneumonia yang disebabkan virus.
Diagnosa Banding
Differensial diagnosa terhadap pneumonia yaitu didasarkan pada adanya kemiripan diantara penyakit menyerupai tanda-tanda klinis respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas (dyspnoe), batuk, keluar discharge atau eksudat pada hidung, tegak sapi dalam posisi abduksio (bahu direnggangkan). Keadaan oedema pulmonum patut dipertimbangkan. Mengingat pada kondisi oedema pulmonum juga terlihat adanya gangguan suplai oksigen dan karbondioksida jawaban adanya pengisian cairan pada alveolar (Welsh et.al 2004).
Selain itu, gangguan pada pleura (pleuritis) perlu diperhatikan juga, lantaran pada investigasi atau uji gumba, kondisi pleuritis juga mengatakan reaksi sakit (positif). Terlebih radang ini jarang ditemukan yang bangkit sendiri. Kondisi pneumonia yang telah berlanjut pun sanggup menjadikan peradangan pada pleura (Subronto 2003).
Diagnosa banding lainnya antara lain:
gangguan jantung
hiperemi pulmonum,
oedema pulmonum,
emfisema pulmonum
laringo-tracheitis
Demikian klarifikasi mendetail wacana pneumonia pada sapi, agar bermanfaat bagi yang membutuhkan.