Mengapa Daging Sapi Bisa Menjadi Alot? Berikut Faktor Yang Berpengaruh Pada Kualitas Daging dan Cara Pengolahan dan Penanganan Daging Yang Baik Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging yakni lantaran terjadinya pemendekan otot pada ketika proses rigormortis sebagai tanggapan dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada ketika pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging, lantaran panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan karkas sanggup meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk. Keempukan daging juga sanggup disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang sanggup mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk materi aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor sesudah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain mencakup metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, materi pemanis termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging.
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama mencakup warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk wangi dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut memilih kualitas daging.
Faktor Sebelum pemotongan Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang sanggup mempengaruhi kualitas daging yakni genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan materi aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.
Genetic/Keturunan Nilai heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya
45% keempukan daging sapi ketika dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan memilih keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.
Spesies Dari taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, lantaran spesies memilih apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia, bisa memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya pembiasaan yang tinggi, dan sebagainya. Spesies memilih tingkat perdagingan suatu ternak.
Bangsa Bangsa ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan. Bangsa suatu ternak juga memilih kualitas suatu daging ternak itu sendiri. Misalnya ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine, persentase daging dalam karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan dalam menurunkan marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3) sapi Hereford, perdagingannya tebal. Dan sebagainya. Makara dilihat dari bangsa ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan kualitas daging.
Tipe ternak Tipe ternak memilih keempukan daging itu sendiri, ibarat tipe ternak potong dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe ternak perah. Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk menghasilkan daging, dan sebaliknya.
Umur Semakin bau tanah usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging yang dihasilkan semakin liat, jikalau ditekan dengan jari, daging yang sehat akan mempunyai konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010).
Umumnya daging yang berasal dari sapi bau tanah akan lebih liat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun memperlihatkan bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang dihasilkannya, artinya makin bau tanah ternak sudah sanggup dipastikan dagingnya akan lebih liat. Daging yang berasal dari sapi bau tanah baunya lebih menyengat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada kenyataannya, kuat lemahnya wangi daging pada sapi tidak dipermasalahkan konsumen, lain halnya dengan daging domba dan daging kambing, lantaran kedua ternak kecil ini wangi dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan dengan sapi. Oleh lantaran itu konsumen daging domba atau kambing lebih menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi bau tanah yang gemuk akan menghasilkan daging yang berlemak oleh lantaran itu rasanya akan lebih gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada ketika dimasak penyusutannya tidak terlalu besar.
Umur ternak ketika dipotong kuat terhadap keempukan daging. Sapi yang dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya mempunyai daging yang empuk. Sapi betina yang dipakai sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk ketika umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya umur ternak.
Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic, dan Mineral) Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai bobot potong lebih cepat dibanding ternak yang menerima pakan dari padang penggembalaan.
Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-bijian
biasanya lebih empuk lantaran ternak dipotong pada umur lebih muda.
Keadaan Stress DFD (Dark Firm Dry) Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, mempunyai nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi (Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan tanggapan ternak kelelahan sesudah mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang menawarkan warna pada daging yakni struktur hem. Hem ini berkombinasi dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan warna daging disebabkan oleh adanya H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Senyawa H2O2 menimbulkan oksidasi oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna coklat (Varnam & Sutherland,1995). Kandungan H2O2 yang dihasilkan oleh basil yang memfermentasi secara alamiah kemungkinan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang dihasilkan olehL . plantarum selama memfermentasi daging. Hal ini menimbulkan warna daging terfermentasi alamiah lebih gelap dibandingkan dengan daging difermentasi L. plantarum.
PSE (Pale Soft Exudatife) Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang usang sebelum penyembelihan shg pH tetap tinggi stlh penyembelihan. Produksi asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali, sehingga menjadikan pH daging yang sangat rendah sesaat sesudah pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, ibarat pada ketika pemecahan ATP yang cepat, akan menjadikan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA sebagai tanggapan dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air keruang ekstraselular.
Faktor Setelah Pemotongan Faktor sesudah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging yakni metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, materi pemanis (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot.
Metode Pelayuan Pelayuan yakni penanganan daging segar sesudah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan yakni daging yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi acara enzim yang bisa menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih sanggup mengikat air, bersifat lebih empuk, dan mempunyai flavor yang lebih kuat.
Hewan yang gres dipotong dagingnya elastis dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak gampang digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu gres dipotong. Oleh lantaran itu, jikalau daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menuntaskan proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang sanggup diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) biar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung tepat sehingga pertumbuhan basil akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar sanggup ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang mempunyai tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas.
Metode Pemasakan Daging dengan jaringan ikat sedikit ibarat has, dianjurkan dimasak dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging dengan jaringan ikat banyak ibarat sengkel, dianjurkan dimasak secara usang dan lambat dengan suhu rendah dan memakai sedikit air. Suhu pemasakan memengaruhi keempukan daging. Jika daging tanpa lemak dipanaskan, protein kontraktil mengeras dan cairan hilang sehingga menurunkan keempukan daging. Potongan daging yang empuk bila dimasak pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk dibanding pemasakan pada suhu sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang, daging lebih empuk dibanding pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh lantaran itu, suhu pemasakan perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak yakni perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin usang waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang bekerjasama dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno, 1992).
Tingkat Keasaman (pH) Daging Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging, khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan binatang (hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya anutan darah ke jaringan tersebut, lantaran terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi dan merupakan proses yang secara umum dikuasai dalam jaringan otot sesudah maut (36 jam pertama sesudah maut atau postmortem) yakni proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan menjadikan penurunan nilai pH jaringan otot.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) ketika binatang hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah binatang disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun tanggapan adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot binatang yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara sedikit demi sedikit dari 7,0 hingga 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH final sekitar 5,5-5,6. Nilai pH final (ultimate pH value) yakni nilai pH terendah yang dicapai pada otot sesudah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan lantaran pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010)
Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging) Enzim dari tanaman, ibarat papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas), dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, sanggup dipakai untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini yakni adakala hanya bereaksi pada permukaan daging, selain kuat negatif terhadap sifat daging.
Papain dari getah pepaya paling banyak dipakai sebagai pengempuk daging. Kualitas getah sangat memilih acara enzim proteolitik, dan kualitas enzim bergantung pada kepingan tumbuhan asal getah tersebut. Aktivitas enzim dipengaruhi
oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta acara proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.
Enzim bromelin dari nenas juga banyak dipakai untuk mengempukkan daging. Enzim bromelin sanggup menguraikan serat-serat daging sehingga menjadi lebih empuk. Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin lebih sedikit dibandingkan buah nenas matang yang masih segar. Kandungan bromelin paling banyak terdapat dalam kepingan kulit.
Marinasi yakni cara meningkatkan keempukan daging dengan menambahkan materi perasa, ibarat garam atau kecap, asam (cuka, jeruk lemon), dan enzim (papain, bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa sendok makanminyak zaitun akan melindungi permukaan daging dari udara dan daging akan tetap segar dan warnanya lebih cerah dalam waktu lebih lama. Dengan marinasi terjadi pelunakan kolagen oleh garam, meningkatnya pertahanan air, hidrolisis serta pemecahan ikatan silang jaringan ikat oleh asam.
Lemak Intramuscular (Marbling) Berdasarkan marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila marbling-nya berlebih, 2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila marbling-nya sedikit, 4) standart, bila marbling-nya sangat sedikit.
Marbling yakni lemak yang terdapat diantara serabut otot (intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling kuat terhadap citarasa daging. Selama proses penggemukan, peningkatan lemak karkas akan mempengaruhi komposisi karkas dan hasil daging (Priyanto et al., 1999).
Metode Penyimpanan dan Pengawetan Ada beberapa yang dilakukan dalam memilih kualitas daging dengan metode penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:
1) Laju Pendingin
Karkas sebaiknya cepat didinginkan sesudah pemotongan untuk mencegah penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar, kesudahannya yakni pendinginan singkat dan menimbulkan daging keras/alot. Pendinginan singkat terjadi pada ketika otot didinginkan
kurang dari 60°F sebelum rigor mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum rigor mortis selesai, kesudahannya yakni rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi keras/alot. Pada kondisi pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak sekitar rib eye kurang dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan lantaran pendinginan singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair sanggup memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari pendinginan singkat, 6-12
jam pertama sesudah ternak dipotong (mati).
2) Pembekuan
Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging
dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila
daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar. Terbentuknya kristal es besar sanggup mengganggu serat otot daging sehingga sangat sedikit meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar sanggup menurunkan cairan daging selama
thawing (pencairan). Daging yang kurang basah akan kurang empuk jikalau dimasak.
3) Thawing
Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalam
refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi beku. Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan daging yang hilang. Pencairan memakai microwave hendaknya dilakukan dengan daya yang rendah.
Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan, beberapa produk olahan tersebut mempunyai nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut sanggup juga dipakai sebagai alternatif sumber protein hewani.
Macam Otot Daging Keempukan daging bervariasi sesuai dengan jenis otot atau letak
daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk dibanding daging sengkel lantaran adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis daging tersebut. Has dalam mempunyai jaringan ikat yang lebih sedikit dibandingkan dengan sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi otot pada ternak hidup. Sengkel terutama dipakai dalam pergerakan sehingga mempunyai jaringan ikat lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya mendukung fungsi ternak sehingga jaringan ikatnya lebih sedikit
Lokasi Otot Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging yakni lantaran terjadinya pemendekan otot pada ketika proses rigormortis sebagai tanggapan dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada ketika pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging, lantaran panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan karkas sanggup meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk. Keempukan daging juga sanggup disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005). Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting ibarat pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot (Boccard dkk., 1967).